Kedewasaan tidak diukur dengan besarnya usia, tingginya pendidikan, tumbuhnya janggut, kumis dan hal-hal fisik lainnya. Saya rasa kedewasaan itu tentang kematangan sikap dan pola pikir. Kesalahan-kesalahan kita di masa lampau akan membuat kita menjadi dewasa jika kita mau belajar darinya meski melalui jalan yang tidak mudah. Semakin kita merasa sakit atas sebuah kesalahan, semakin kecil kemungkinan kita untuk mengulanginya kembali karena kita akan selalu waspada ketika tanda-tanda kemunculannya mulai terlihat.
Saya sendiri layaknya manusia pada umumnya memiliki banyak sekali kesalahan akibat kurang dewasa. Dari sekian banyak kesalahan ada beberapa yang masih melekat karena belum setahun terjadi tapi juga ada yang sudah bertahun-tahun tapi tidak luntur rasa penyesalannya kecuali sedikit. Salah satu kesalahan saya akibat kurang dewasa adalah pernah "menyakiti" orang lain.
Tentu saja istilah "menyakiti" di sini tidak secara harfiah saya menganiaya atau memukuli sesorang. Namun lebih ke perasaan yang bersangkutan. Dengan kepribadian dominan, saya menjadi siswa yang tidak mudah untuk mengalah dan ingin menang atau minimal setara. Sulit untuk menerima keadaan ketika saya disalahkan padahal saya tidak merasa bersalah. Kata "mengalah" hampir-hampir tidak pernah ada dalam kamus kehidupan saya.
Apakah itu hal yang wajar? mungkin. Apakah itu akan jadi masalah? mungkin. Tapi hal ini pasti akan menjadi maslaah ketika saya tidak memiliki cukup kedewasaan untuk menyadari bahwa saya salah atau seseorang tidak salah. Sebagai contoh, saya berkawan baik dengan seorang teman di sekolah selam bertahun-tahun. Pada suatu titik kami sangat saling percaya dan memutuskan untuk merintis sebuah usaha bersama. Dalam pra-proses perintisan kami mengalami pasang-surut pertemanan namun secara keseluruhan pertemanan kami tergolong sangat baik.
Ketika kami baru saja memulai kesepakatan, saya sebagai orang berkepribadian dominan ingin segera jalan cepat dan meraih target-target untuk usaha kami. Sedangkan teman saya masih belum sepenuhnya yakin tentang usaha ini apakah akan sustainable atau tidak. Saya berkali-kali mencoba meyakinkan dia (itu yang saya pikirkan) apakah dia akan lanjut menemani saya merintis usaha ini atau tidak. Akhir-akhir ini saya baru menyadari bahwa tindakan saya dulu ternyata lebih ke arah "mengejar" daripada memberi dorongan meskipun niat terdalam saya sepenuhnya untuk saling memberi dukungan.
Singkat cerita, dia tidak menemukan keyakinan itu dan memutuskan untuk mengakhiri kerjasama kami tapi dia bilang kami bisa tetap berteman seperti sedia kala. Mendengar keputusan itu pada awalnya biasa saja, namun selang beberapa saat ternyata sangat suli tuntuk menerimanya. Terngiang hal-hal yang sudah direncanakan sejauh ini, hal-hal yang sudah dilakukan sejauh ini tapi ternyata menuju ke sebuah pembatalan.
Jujur, hal ini mungkin salah satu guncangan besar yang pernah saya alami. Tanpa saya sadari saya melakukan hal yang sangat tidak terhormat "play victim". Saya seolah-olah berperan sebagai korban sedangkan teman saya menjadi sebab akan kondisi saya saat ini. Permainan tidak terhormat ini tenttu memiliki implikasi kepada pertemanan kami. Teman saya tidak terima (tentu saja, siapa pula yang mau disalahkan) dan akhirnya dia marah karena ulah kekanak-kanakan saya. Apakah saat itu saya menyadari bahwa saya melakukan hal yang tidak terhormat? tentu saja tidak!
Saya melakukannya karena tidak tahu dan kurang matangnya pola pikir saya. Apakah salah satu dari kami adalah penyebab terputuskan kerjasama di antara kami? Tidak juga. Teman saya tidak menemukan keyakinan atau kenyamanan di dalamnya, sudah sewajarnya dia untuk meminta berhenti. Sedangkan saya tidak cukup kemampuan untuk memberikan keyakinan dan kenyamana tersebut. Hei, tidak ada yang salah bukan? lantas kenapa saya bisa jadi korban? itu lah hasil ketidakdewasaan dalam bersikap.
Lantas, apa yang akan saya lakukan setelah menyadari ini semua? tentu saja langkah pertama adalah ikhlas atau dalam bahasa yang lebih umum bisa disebut dengan kesadaran penuh saya menerima kenyataan yang sudah terjadi. Apa kenyataan yang sudah terjadi itu? kami belum cocok, kami tidak melanjutkan kerjasama dan kami tidak ada yang salah atas keputusan itu karena masing-masing dari kami memiliki hak untuk memilih keputusan dan memilih penyikapan.
Bagi saya kedewasaan itu rumit sekaligus sederhana. Rumit ketika saya memikirkannya terlalu lama sampai mempengaruhi mood saya. Sederhana ketika saya tidak ambil pusing dan langsung mempraktikkan bagaimana melatih kebiasaan-kebiasaan untuk menjadi lebih dewasa. Stay hungry, stay foolish!
Posting Komentar